Makalah Kelompok
Konsep
Harta Dan Kepemilikan
Dalam
Islam
Disusun Oleh :
Dwi Syahara = 10350008011
Amriani Idris - 105250008111
Dosen Pembimbing
Bapak Dr.Sirajuddin SE.,M.Si
Jurusan Hukum Ekonomi Syariah
Fakultas Agama Islam
Universitas Muhammadiyah Makassar
2014
Kata Pengantar
Bismillah..
Assalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillahirabbilalamin, banyak nikmat yang
Allah berikan, tetapi sedikit sekali yang kita ingat. Segala puji hanya layak
untuk Allah Tuhan seru sekalian alam atas segala berkat, rahmat, taufik, serta
hidayah-Nya yang tiada terkira besarnya, sehingga penyusun dapat menyelesaikan
makalah dengan judul Akutansi Salam
Allah
telah menjadikan harta sesuatu yang indah dalam pandangan manusia, manusia
diberi tabiat alamiah mempunyai kecintaan terhadap harta. Hukum Islam memandang harta mempunyai
nilai yang sangat strategis, karena harta merupakan alat dan sarana untuk
bmemperoleh berbagai manfaat dan mencapai kesejahteraan hidup manusia sepanjang
waktu. Hubungan manusia dengan harta sangatlah erat. Demikian eratnya
hubungan tersebut sehingga naluri manusia untuk memilikinya menjadi satu dengan
naluri mempertahankan hidup manusia itu sendiri. Justru harta termasuk salah
satu hal penting dalam kehidupan manusia, karena harta termasuk unsur lima asas
yang wajib dilindungi bagi setiap manusia (al-dharuriyyat al-khomsah) yaitu
jiwa, akal, agama, harta dan keturunan.
Namun
penyusun menyadari betul akan masih banyaknya kekuranagn dari makalah ini,
walau telah mengusahakan sepenuhnya untuk menyempurnakannya. Maka dari itu
kritik dan saran yang membangun sangatlah penting bagi penyusun untuk
menghadirkan makalah yang jauh lebih baik lagi di kemudian hari. Terimakasih
banyak atas perhatian dan waktu luangnya.
Wassalamu’alaikum
warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillahirabbilalamin..
Makassar, 1
Juni 2014
Tim Penyusun
Daftar Isi
Kata Pengantar .................................................................................................................... i
Daftar Isi ............................................................................................................................... ii
BAB I. PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah ........................................................................................... 1
B.
Rumusan Masalah .................................................................................................... 2
C.
Tujuan Masalah ........................................................................................................ 2
BAB II. PEMBAHASAN
A.
Teori Harta................................................................................................................ 3
B.
Teori Kepemilikan ..................................................................................................... 3
C.
Harta Dalam Sudut Pandang Islam .......................................................................... 4
D.
Kepemilikan Harta Dalam Islam .............................................................................. 8
E.
Memelihara Harta Dalam Kepemilikan ................................................................... 12
F. Maqashid Syariah dalam Kepemilikan
Harta ........................................................... 13
BAB III. PENUTUP
A.
Kesimpulan ............................................................................................................... 19
B.
Krirtik Dan Saran ...................................................................................................... 21
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Masalah
Harta
merupakan kebutuhan inti dalam kehidupan dimana manusia tidak akan bisa
terpisah darinya. Secara umum, harta merupakan sesuatu yang disukai
manusia, seperti hasil pertanian, perak dan emas, ternak atau barang-barang
lain yang termasuk perhiasan dunia.
Manusia
termotivasi untuk mencari harta demi menjaga eksistensinya dan demi menambah
kenikmatan materi dan religi, dia tidak boleh berdiri sebagai penghalang antara
dirinya dengan harta. Namun, semua motivasi ini dibatasi dengan tiga syarat,
yaitu harta dikumpulkannya dengan cara yang halal, dipergunakan untuk hal-hal
yang halal, dan dari harta ini harus dikeluarkan hak Allah dan masyarakat
tempat dia hidup.
Harta yang
dimiliki setiap individu selain didapatkan dan digunakan juga harus dijaga.
Menjaga harta berhubungan dengan menjaga jiwa, karena harta akan menjaga jiwa
agar jauh dari bencana dan mengupayakan kesempurnaan kehormatan jiwa tersebut.
Menjaga jiwa menuntut adanya perlindungan dari segala bentuk penganiayaan, baik
pembunuhan, pemotongan anggota badan atau tindak melukai fisik.
Harta dalam
pandangan Islam pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. kemudian Allah
telah menyerahkannya kepada manusia untuk menguasai harta tersebut melalui
izin-Nya sehingga orang tersebut sah memiliki harta tersebut. Adanya
pemilikan seseorang atas harta kepemilikian individu tertentu mencakup
juga kegiatan memanfaatkan dan mengembangkan kepemilikan harta yang telah dimilikinya
tersebut. Setiap muslim yang telah secara sah memiliki harta tertentu maka ia
berhak memanfaatkan dan mengembangkan hartanya. Hanya saja dalam memanfaatkan
dan mengembangkan harta yang telah dimilikinya tersebut ia tetap wajib terikat
dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam yang berkaitan dengan pemanfaatan dan
pengembangan harta.
Namun
sebaliknya kondisi saat ini khususnya di Indonesia ada batas-batas kepemilikan
harta yang sebenarnya dapat dimiliki untuk umum. Bahkan banyak intervensi
Negara asing yang ingin menguasai kepemilikan umum menjadi milik pribadi.
Berangkat
dari permasalahan diatas, maka tulisan singkat ini akan menguraikan makna
harta dalam pandangan Islam dan konsep kepemilikan harta dalam Islam, dan maqashid syariah dalam kepemilikan harta, serta pembagian harta dalam islam.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah harta dalam pandangan islam?
2. Jelaskan kepemilikan harta dalam prospektif islam!
3.
Jelaskan
maqashid syariah kepemilikan harta!
4.
Bagaimana pembagian harta dalam islam?
C.
Tujuan Masalah
Makalah ini di buat selain sebagai
bentuk dari pemenuhan tanggungjawab akan tugas yang telah di amanahkan serta
mengetahui secara lebih terperincih lagi akan harta dan kepemilikikan, dimana
kedua hal ini sangatlah akrab dalam kehidupan kita sehari-hari.
Dilain sisi terdapat nilai
plusnya, yakni sebagai penambahan wawasan untuk kami pribadi terkhusus dan
teman-teman pada umumnya, akan harta dan kepemilikan dalam sudut pandang islam,
cara memelihara harta dan pembagian harta dalam islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Teori Harta
Harta merupakan komponen pokok dalam kehidupan manusia, unsur dlaruri yang
tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Dengan harta, manusia bisa memenuhi
kebutuhannya, baik yang bersifat materi ataupun immateri. Dalam kerangka
memenuhi kebutuhan tersebut, terjadilah hubungan horizontal antar manusia (mu'amalah),
karena pada dasarnya tidak ada manusia yang sempurna dan dapat memenuhi
kebutuhannya sendiri, akan tetapi saling membutuhkan terkait dengan manusia
lainnya.
Dalam konteks tersebut, harta hadir sebagai obyek transaksi, harta bisa
dijadikan sebagai obyek dalam transaksi jual beli, sewa-menyewa, partnership
(kontrak kerjasama), atau transaksi ekonomi lainnya. Selain itu, dilihat
dari karakteristik dasarnya (nature), harta juga bisa dijadikan sebagai
obyek kepemilikan, kecuali terdapat faktor yang menghalanginya.
B.
Teori Kepemilikan
Hak milik (kepemilikan) adalah hubungan antara manusia dengan harta yang
ditetapkan syara', dimana manusia memiliki kewenangan khusus untuk melakukan
transaksi terhadap harta tersebut, sepanjang tidak ditemukan hal yang
melarangnya. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh manusia, baik berupa
harta benda (dzat) atau nilai manfaat. Dengan demikian, dapat dipahami
pernyataan Hanafiyah yang mengatakan bahwa manfaat dan hak merupakan
kepemilikan, bukan merupakan harta.
Secara bahasa, kepemilikan bermakna pemilikan atas manusia atas suatu
harta dan kewenangan untuk bertransaksi secara bebas terhadapnya. Menurut
istilah ulama fiqh, kepemilikan adalah keistimewaan atas suatu benda yang
menghalangi pihak lain bertindak atasnya dan memungkinkan pemiliknya untuk
bertransaksi secara langsung di atasnya selama tidak ada halangan syara'.
Ketika seseorang telah memiliki harta benda dengan jalan yang dibenarkan
syara', maka ia memiliki kewenangan khusus atasnya. Ia memiliki kekhususan
untuk mengambil manfaat atau bertransaksi atasnya sepanjang tidak ada halangan
syara' yang mencegahnya, seperti gila, safih , anak kecil, dan
lainnya. Keistimewaan itu juga bisa mencegah orang lain untk memanfaatkan atau
bertransaksi atas kepemilikan harta tersebut, kecuali terdapat aturan syara'
yang memperbolehkannya, seperti adanya akad wakalah.
Secara asal, harta benda boleh dimiliki. Namun, terdapat beberapa
kondisi yang dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan dan manfaat publik (fasiliyas
umum) seperti jalan umum, jembatan, benteng, sungai, laut, museum,
perpustakaan umum, dan lainnya. Harta ini tidak dapat diprivatisasi dan dimliki
oleh individu, namun ia harus tetap menjadi aset publik untuk dimanfaatkan bersama.
Jika harta tersebut sudah tidak dikonsumsi oleh publik, maka harta tersebut
kembali kepada asalnya, yakni bisa dimiliki oleh individu. Selain itu, ada juga harta yang tidak bisa dimiliki
kecuali dibenarkan oleh syara'. Seperti harta yang diwakafkan dan aset-aset baitul
maal. Harta wakaf tidak boleh diperjual-belikan atau dihibahka,
kecuali telah rusak atau biaya perawatannya lebih mahal dari pada penghasilan
yang didapatkan. Dalam konteks ini, mahkamah (pengadilan/pemerintahan) boleh
memberikan izin untuk mentransaksikan harta benda tersebut. Begitu juga dengan aset-aset baitul maal atau
aset pemerintahan. Aset ini tidak boleh diperjualbelikan (privatisasi) kecuali
ada ketetapan pemerintah yang dilatarbelakangi adanya darurat atau kemaslahatan
yang mendesak. Aset pemerintah layaknya harta anak yatim yang tidak boleh
ditransaksikan kecuali terdapat kebutuhandan kemaslahatan yang mendesak. Ada
juga harta yang bisa dimiliki dengan mutlak tanpa batasan, yakni selain kedua
harta diatas.
C.
Harta Dalam Sudut Pandang Islam
Harta dalam literatur
Islam (Al-Qur’an dan al-Hadits) dikenal dengan sebutan al-mal, kata jamaknya
al-amwal. Dalam al-Qur’an tersebut 24 kali kata mal atau al-mal, satu kali kata
maliyah dan 61 kata amwal dalam puluhan surat dan puluhan ayat.
Secara harfiah, kata
al-mal berasal dari kata
mala-yamilu-maylan-wa-mayalanan-wa-maylulatan-wa-mamilan, artinya miring,
condong, cenderung, suka, senang dan simpati. Harta dinamakan al-mal mengingat semua orang, siapa,
kapan dan dimanapun pada dasarnya adalah condong, senang, mau dan cinta pada
harta khususnya uang. Al-Qur’an surah Al-Fajr ayat 20 melukiskan
kegemaran manusia terhadap harta di antaranya :
“Dan kamu mencintai harta benda dengan
kecintaan yang berlebihan”
Oleh karena itu kecintaan manusia terhadap harta ini harus
mendapatkan bimbingan wahyu yang mengarahkannya bahwa harta bukanlah tujuan
hidup ini akan tetapi hanya sebagai wasilah belaka yang nanti di hari kiamat
harus dipertanggung jawabkan.
Harta dalam Islam dianggap sebagai bagian dari aktivitas dan tiang kehidupan yang dijadikan Allah sebagai sarana untuk membantu proses tukar-menukar (jual beli), dan juga digunakan sebagai ukuran terhadap nilai. Allah memerintahkan untuk saling menukarkannya dan melarang menimbunnya. Oleh karena itu syariat Islam dengan kaidah dan konsepnya akan mengontrol cara untuk mendapatkan harta, menyalurkannya, proses pertukaran dengan barang lain serta pengaturan hak-hak orang lain dalam harta itu.
Harta dalam Islam dianggap sebagai bagian dari aktivitas dan tiang kehidupan yang dijadikan Allah sebagai sarana untuk membantu proses tukar-menukar (jual beli), dan juga digunakan sebagai ukuran terhadap nilai. Allah memerintahkan untuk saling menukarkannya dan melarang menimbunnya. Oleh karena itu syariat Islam dengan kaidah dan konsepnya akan mengontrol cara untuk mendapatkan harta, menyalurkannya, proses pertukaran dengan barang lain serta pengaturan hak-hak orang lain dalam harta itu.
Menurut istilah
syar’i harta diartikan sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan pada
sesuatu yang legal menurut hukum syara’ (hukum Islam) seperti jual-beli,
pinjaman, konsumsi dan hibah atau pemberian. Maka seluruh apapun yang digunakan
oleh manusia dalam kehidupan dunia merupakan harta. Uang, tanah, kendaraan,
rumah, perhiasan, perabotan rumah tangga, hasil perkebunan, hasil
perikanan-kelautan dan pakaian termasuk dalam kategori al-amwal atau harta
kekayaan.
Hukum Islam memandang
harta mempunyai nilai yang sangat strategis, karena harta merupakan alat dan
sarana untuk memperoleh berbagai manfaat dan mencapai kesejahteraan hidup
manusia sepanjang waktu.
Hubungan manusia
dengan harta sangatlah erat. Demikian eratnya hubungan tersebut sehingga naluri
manusia untuk memilikinya menjadi satu dengan naluri mempertahankan hidup
manusia itu sendiri. Justru harta termasuk salah satu hal penting dalam
kehidupan manusia, karena harta termasuk unsur lima asas yang wajib dilindungi
bagi setiap manusia (al-dharuriyyat al-khomsah) yaitu jiwa, akal, agama, harta
dan keturunan.
Ø Definisi Harta
Menurut Wahbah Zuhaili (1989, IV,
hal, 40), secara linguistik, al-maal didefinisikan sebagai
segala sesuatu yang dapat mendatangkan ketenangan, dan bisa dimiliki oleh
manusia dengan sebuah upaya (fi'il), baik sesuatu itu berupa dzat
(materi) seperti; komputer, kamera digital, hewan ternak, tumbuhan, dan
lainnya. Atau pun berupa manfaat, seperti, kendaraan, atau pun tempat tinggal. Berdasarkan
definisi ini, sesuatu akan dikatakan sebagai al-maal, jika
memenuhi dua kriteria;
- Sesuatu itu harus bisa memenuhi kebutuhan manusia, hingga pada akhirnya bisa mendatangkan kepuasan dan ketenangan atas terpenuhinya kebutuhan tersebut, baik bersifat materi atau immateri
- Sesuatu itu harus berada dalam genggaman kepemilikan manusia. Konsekuensinya, jika tidak bisa atau belum dimiliki, maka tidak bisa dikatakan sebagai harta. Misalnya, burung yang terbang diangkasa, ikan yang berada di lautan, bahan tambang yang berada di perut bumi, dan lainnya.
Pengertian
Harta dalam al-Qur’an:
“Dijadikan indah dalam
(pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia, dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga)”. (QS. Ali
Imron 3:14).
Jadi, secara umum dapat dikatakan bahwa harta dalam pandangan al-Qur’an adalah segala sesuatu yang disenangi manusia seperti emas, perak, kuda pilihan, hewan ternak, sawah ladang dan lain sebagainya yang kesemuanya itu diperlukan untuk memenuhi hajat hidup. Menurut al-Qur’an, harta menjadi baik bila digunakan sesuai petunjuk Ilahi, dan sebaliknya akan menjadi buruk bila penggunaannya tidak sesuai dengan petunjuk-Nya.
Jadi, secara umum dapat dikatakan bahwa harta dalam pandangan al-Qur’an adalah segala sesuatu yang disenangi manusia seperti emas, perak, kuda pilihan, hewan ternak, sawah ladang dan lain sebagainya yang kesemuanya itu diperlukan untuk memenuhi hajat hidup. Menurut al-Qur’an, harta menjadi baik bila digunakan sesuai petunjuk Ilahi, dan sebaliknya akan menjadi buruk bila penggunaannya tidak sesuai dengan petunjuk-Nya.
Pengertian
Harta menurut al-Sunnah
Rasulullah Shallahu Alaihi Wassallam bersabda:
“Sebaik-sebaiknya harta ialah yang berada pada orang salih”. (HR. Bukhari dan
Muslim).
Dari
hadis ini dapat diketahui bahwa mal/harta sebagai milik pribadi menjadi nikmat
bila digunakan untuk kebaikan semisal dengan kebaikan orang salih yang
menggunakan harta tersebut. Namun demikian, keberadaan harta bukan menjadi
tujuan hidup. Karenanya, pemilik harta diharapkan tidak lupa mengabdi kepada
Allah.
Dilihat dari kacamata istilah fiqh, ulama berbeda pendapat tentang
definisi al-maal, perbedaan itu muncul dari makna atau substansi
yang dihadirkan dalam definisi. Perbedaan pandangan tersebut dapat
dikatagorikan dalam dua pendapat. Yakni :
1) Pendapat Hanafiyah
Menurut Hanafiyah, al-maal adalah segala sesuatu yang
mungkin dimiliki, disimpan, dan dimanfaatkan. Pendapat ini mensyaratkan dua
unsur yang harus terdapat dalam al-maal;
·
Dimungkinkan untuk dimiliki, disimpan, dengan demikian al-maal harus
bersifat tangible. Sesuatu yang bersifat ingtanguble seperti,
ilmi, kesehatan, kompetisi, prestise, image, dan lainnya tidak bisa
dikatagorikan sebagau al-maal. Selanjutnya, sesuatu itu harus
bisa dikuasai dan disimpan, oksigen (berbeda dengan oksigen yang telah
dimasukkan dalam tabung oksigen), cahaya matahari dan rembulan tidak bisa
dikatagorikan sebagai al-maal.
·
Secara lumrah (wajar), dimungkinkan untuk diambil manfaatkan, seperti
;daging bangkai, makanan yang sudaj expire, yang telah rusak,
maka tidak bisa dikatakan sebagai al-maal. Dalam kondisi darurat,
boleh saja kita mengkonsumsi barang tersebut dan, mungkin bisa mendatangkan
manfaat, namun demikian, hal tersebut tidak bisa secara langsung megubah barang
tersebut menjadi al-maal, karena hal ini merupakan bentuk
pengecualian (istitsna' ).
·
Selain itu, kemanfaatan yang ada pada sesuatu itu haruslah merupakan
manfaat yang secara umum dapat diterima masyarakat. Sebutir nasi atau setetes
air tudak dianggap bisa mendatangkan manfaat, berbeda jika jumlah kuantitasnya
besar.
Sifat maaliah (sesuatu yang dianggap sebagai harta)
akan tetap melekat pada sesuatu, sepanjang sesuatu itu masih dimanfaatkan atau
diberdayakan oleh masyarakat atau sebagian dari mereka. Khamr (arak,
miras), anjing, babi, mungkin masih bisa dimanfaatkan oleh non-muslim. Bagi
kaumborjuis, pakaian bekas mungkin sudah tidak memiliki arti, namun bagi orang
yang tinggal dilorong jembatan, pakaian bekas itu masih memiliki arti dan
manfaat bagi kehidupannya. Dengan demikian, dalam konteks ini, pakaian bekas
tersebut masih bisa dikatalan sebagai al-maal. Berbeda jika pakaian tersebut sudah ditinggalkan
oleh seluruh masyarakat, tidak terdapat sedikitpun yang mau atau bisa
memanfaatkannya.
Ibnu Abidin (madzhab Hanafi, Raddul Mukhtar,IV, hal.3) mengatakan, al-maal adalah segala sesuatu yang
di-preferansi-kan (gandrungi) oleh tabiat manusia, dan dimungkinkan untuk
disimpan hingga saat di butuhkan, baik dapat dipindah (Manqul) ataupun tidak (gairu manqul).
Menurut Wahbah Zuhaili (1989, IV,hal.41), definisi ini bukanlah
pengertian yang komprehensif, sayur-sayuran dan buah-buahan bisa
dikatakan al-maal,walaupun tidak bisa disimpan, karena cepat rusak. Begitu juga dengan
hewan buruan, kayu di hutan tetap bisa dikatakan sebagai al-maal ,walaupun belum dimiliki
atau disimpan. Obat-obatan juga bisa dimasukkan dalam katagori harta, walupun
manusia menolak untuk mengkonsumsinya.
2) Pendapat Mayoritas Ulama
Mayoritas ulama fiqh, al-maal adalah segala sesuatu
yang memiliki nilai, dimana bagi orang yang merusaknya, berkewajiban untuk
menanggung atau menggantinya. Lebih lanjut Imam Syafii mengatakan, al-maal dikhususkan
pada sesuatu yang bernilai dan bisa diperjualbelikan dan memiliki konsekuensi
bagi yang merusaknya. Berdasarkan pengertian ini, al-maal haruslah sesuatu yang dapat merefleksikan sebuah nilai
finansial, dalam arti ia bisa diukur dengan satuan moneter.
Menanggapi persoalan definisi harta, Mustafa Ahmad Zarqa (1984, hal289)
menegaskan, memang terdapat perbedaan mendasar antara pandangan syariah
dengan qanun (hukum). Menurut beliau, sesuatu itu dikatakan
harta (al-maal) jika memenuhi dua syarat, yaitu;
·
Sesuatu itu harus berwujud materi dan bisa di raba,
·
Biasanya manusia akan berusaha untuk meraihnya, dan menjaganya agartidak
diambil ataudimiliki orang lain. Dengan demikian harta itu haruslah memiliki
nilai materi.
Berdasarkan persyaratan ini, maka
yang dikatakan sebagi harta adalah segala dzat ('ain) yang dianggap
memiliki nilai materi bagi kalangan masyarakat. Pendapat ini secara otomatis
menafikan hak dan manfaat untuk masuk dalam katagori harta. Jika dilihat, pendapat
Mustafa Ahmad Zarqa ini cenderung dekat dengan pendapat Ulama Hanafiyah.
D.
Kepemilikan Harta Dalam Islam
Kepemilikan adalah
hubungan keterikatan antara seseorang dengan harta yang dikukuhkan dan
dilegitimasi keabsahannya oleh syara’. Kata al-Milku digunakan untuk
menunjukkan arti sesuatu yang dimiliki, seperti perkataan “Hadza milkii,” yang
artinya ini adalah sesuatu milikku baik berupa barang atau kemanfaatan.
Menurut Jati dalam
buku Asas-asas ekonomi Islam, hakikat harta ada tiga, yaitu : Allah adalah
pencipta dan pemilik harta yang hakiki, harta adalah fasilitas bagi kehidupan
manusia dan Allah menganugerahkan pemilikan harta kepada manusia.
Menurut Ibnu Taimiyah
seperti dikutip Euis Amalia dalam buku Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
tiap individu, masyarakat dan Negara memiliki hak atas pemilikan hak milik
sesuai dengan peran yang dimiliki mereka masing-masing. Hak milik dari ketiga
agen kehidupan ini tidak boleh menjadikannya sebagai sumber konflik antara
ketiganya. Hak milik menurutnya adalah sebuah kekuatan yang didasari atas
syariah untuk menggunakan sebuah objek, tetapi kekuatan itu sangat bervariasi dalam
bentuk dan jenisnya.
Dalam pandangan Islam
hak milik dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu : hak milik pribadi, hak milik
umum, dan hak milik negara.
1)
Kepemilikan
Individu (private property)
Kepemilikan individu adalah ketetapan hukum syara’ yang
berlaku bagi dzat ataupun manfaat (jasa) tertentu, yang memungkinkan siapa
saja yang mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta
memperoleh kompensasi jika barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain
seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan dzatnya seperti
dibeli –dari barang tersebut.
An-Nabhaniy (1990) mengemukakan, dengan mengkaji secara komprehensif hukum-hukum syara’ yang menentukan pemilikan seseorang atas harta tersebut, maka akan nampak bahwa sebab-sebab kepemilikan tersebut terbatas pada lima sebab berikut ini :
An-Nabhaniy (1990) mengemukakan, dengan mengkaji secara komprehensif hukum-hukum syara’ yang menentukan pemilikan seseorang atas harta tersebut, maka akan nampak bahwa sebab-sebab kepemilikan tersebut terbatas pada lima sebab berikut ini :
a)
Bekerja.
b)
Warisan.
c)
Kebutuhan akan
harta untuk menyambung hidup.
d)
Harta pemberian
negara yang diberikan kepada rakyat.
e)
Harta-harta
yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta atau tenaga
apapun.
Setiap individu memiliki hak untuk menikmati hak miliknya,
menggunakannya secara produktif, memindahkannya dan melindunginya dari
pemubaziran. Namun pemilik juga terkena sejumlah kewajiban tertentu,
seperti membantu dirinya sendiri dan kerabatnya serta membayar sejumlah
kewajiban.
2)
Kepemilikan
Umum (collective property)
Kepemilikan umum adalah izin Syari’ kepada suatu komunitas
untuk sama-sama memanfaatkan benda. Sedangkan benda-benda yang termasuk dalam
kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh
Allah Subhana Wa Ta’ala dan Rasulullah Shallallahi Alaihi Wasallam bahwa
benda-benda tersebut untuk suatu komunitas dimana mereka masing-masing
saling membutuhkan. Berkaitan dengan pemilikan umum ini, hukum Islam
melarang benda tersebut dikuasai hanya oleh seseorang saja.
Dan pengertian di atas maka benda-benda yang termasuk dalam
kepemilikan umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok ;
a)
Benda-benda
yang merupakan fasilitas umum
Bentuk fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai
kepentingan manusia secara umum. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wassalam telah
menjelaskan dalam sebuah hadits bagaimana sifat fasilitas umum tersebut. lbnu
Majah juga meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi Shallalahu Alaihi
Wassalam bersabda : “Tiga hal yang tidak
akan pemah dilarang (untuk dimiliki siapapun) yaitu air, padang rumput, dan api.”
(HR. Ibnu Majah).
Anas r.a meriwayatkan hadits dari lbnu Abbas ra. tersebut
dengan menambahkan : Wa tsamanuhu haram (dan harganya haram), yang berarti
dilarang untuk diperjualbelikan.
b)
Bahan tambang
yang jumlahnya sangat besar
Bahan tambang dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
Barang tambang yang sedikit (terbatas) jumlahnya termasuk milik pribadi, serta
boleh dimiliki secara pribadi, dan terhadap bahan tambang tersebut diberlakukan
hukum rikaz (barang temuan), yang darinya harus dikeluarkan khumus, yakni 1/5
bagiannya (20%).
Adapun bahan tambang yang sangat banyak (hampir tidak terbatas) jumlahnya, yang tidak mungkin dihabiskan oleh individu, maka bahan tambang tersebut termasuk milik umum (collective property), dan tidak boleh dimiliki secara pribadi.
Adapun bahan tambang yang sangat banyak (hampir tidak terbatas) jumlahnya, yang tidak mungkin dihabiskan oleh individu, maka bahan tambang tersebut termasuk milik umum (collective property), dan tidak boleh dimiliki secara pribadi.
c)
Benda-benda
yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki oleh individu secara
perorangan.
Benda yang dapat dikategorikan sebagai kepemilikan umum
yaitu jalan raya, sungai, masjid dan fasilitas umum lainnya. Benda-benda ini
dari merupakan fasilitas umum dan hampir sama dengan kelompok pertama. Namun
meskipun benda-benda tersebut seperti jenis yang pertama, tetapi berbeda dari
segi sifatnya, bahwa benda tersebut tidak bisa dimiliki oleh individu.
Barang-barang kelompok pertama dapat dimiliki oleh individu jika jumlahnya kecil dan tidak menjadi sumber kebutuhan suatu komunitas. Misalnya sumur air, mungkin saja dimiliki oleh individu, namun jika sumur air tersebut dibutuhkan oleh suatu komunitas maka individu tersebut dilarang memilikinya. Berbeda dengan jalan raya, mesjid, sungai dan lain-lain yang memang tidak mungkin dimiliki oleh individu.
Barang-barang kelompok pertama dapat dimiliki oleh individu jika jumlahnya kecil dan tidak menjadi sumber kebutuhan suatu komunitas. Misalnya sumur air, mungkin saja dimiliki oleh individu, namun jika sumur air tersebut dibutuhkan oleh suatu komunitas maka individu tersebut dilarang memilikinya. Berbeda dengan jalan raya, mesjid, sungai dan lain-lain yang memang tidak mungkin dimiliki oleh individu.
3)
Kepemilikan
Negara (state property)
Harta-harta yang termasuk milik negara adalah harta yang
merupakan hak seluruh kaum muslimin yang pengelolaannya menjadi wewenang negara,
dimana negara dapat memberikan kepada sebagian warga negara, sesuai
dengan kebijakannya. Makna pengelolaan oleh negara ini adalah adanya kekuasaan
yang dimiliki negara untuk mengelolanya semisal harta fai, kharaj, jizyah dan
sebagainya.
Meskipun harta milik umum dan milik negara pengelolaannya
dilakukan oleh negara, namun ada perbedaan antara kedua bentuk hak milik
tersebut. Harta yang termasuk milik umum pada dasamya tidak boleh diberikan
negara kepada siapapun, meskipun negara dapat membolehkan kepada orang-orang
untuk mengambil dan memanfaatkannya. Berbeda dengan hak milik negara dimana
negara berhak untuk memberikan harta tersebut kepada individu tertentu sesuai
dengan kebijakan negara.
Harta kekayaan sejatinya adalah milik Allah Subhana Wa Ta’ala. Sedangkan manusia adalah para hambanya dan kehidupan di dalamnya manusia bekerja, berkarya dan membangunnya dengan menggunakan harta Allah Subhana Wa Ta’ala. karena semua itu adalah milik-Nya, maka sudah seharusnya harta kekayaan meskipun terikat dengan nama orang tertentu dan dimanfaatkan untuk kepentingan mereka. Allah Subhana Wa Ta’ala berfirman,
Harta kekayaan sejatinya adalah milik Allah Subhana Wa Ta’ala. Sedangkan manusia adalah para hambanya dan kehidupan di dalamnya manusia bekerja, berkarya dan membangunnya dengan menggunakan harta Allah Subhana Wa Ta’ala. karena semua itu adalah milik-Nya, maka sudah seharusnya harta kekayaan meskipun terikat dengan nama orang tertentu dan dimanfaatkan untuk kepentingan mereka. Allah Subhana Wa Ta’ala berfirman,
“Dia-lah Allah yang
menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”
Dengan begitu, berarti harta kekayaan memiliki fungsi sosial
yang tujuannya adalah menyejahterakan masyarakat dan memenuhi
kebutuhan-kebutuhan serta kemaslahatan-kemaslahatannya. Jadi dengan begitu,
kepemilikan individu di dalam pandangan Islam merupakan sebuah fungsi sosial. Syaikh
Abu Zahrah berpandangan, bahwa tidak ada halangan untuk mengatakan bahwa
kepemilikan adalah fungsi sosial. Akan tetapi harus diketahui bahwa itu
harus berdasarkan ketentuan Allah swt bukan ketentuan para hakim, karena mereka
tidaklah selalu orang-orang yang adil.
E.
Maqashid Syariah dalam Kepemilikan
Harta
Memelihara harta atau kepemilikan harta secara individu,
umum dan kepemilikan Negara merupakan salah satu dari lima unsur kemaslahatan
dalam maqashid syariah (tujuan syariah). Dilihat dari segi kepentingannya,
Memelihara harta dapat dibedakan menjadi tiga peringkat:
1.
Memelihara
harta dalam peringkat daruriyyat, seperti Syari’at tentang tatacara pemilikan
harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan cara yang tidak sah,
apabila aturan itu dilanggar, maka berakibat terancamnya eksistensi harta.
2.
Memelihara
harta dalam peringkat hajiyyat seperti syari’at tentang jual beli dengan cara
salam. Apabila cara ini tidak dipakai, maka tidak akan terancam eksistensi
harta, melainkan akan mempersulit orang yang memerlukan modal.
3.
Memelihara
harta dalam peringkat tahsiniyyat, seperti ketentuan tentang menghindarkan diri
dari pengecohan atau penipuan. Hal ini erat kaitannya dengan etika bermuamalah
atau etika bisnis. Hal ini juga akan mempengaruhi kepada sah tidaknya jual beli
itu, sebab peringkat yang ketiga ini juga merupakan syarat adanya peringkat
yang kedua dan pertama.
Menurut penyusun, cara
melindungi harta sesuai dengan kepemilikannya adalah sebagai berikut :
ü Hak milik individu,
dalam mendapatkannya harus sesuai dengan syariat Islam yaitu dengan cara
bekerja ataupun warisan dan tidak boleh memakan harta orang lain dengan cara
yang bathil atau memakan hasil riba. Menggunakannya pun harus sesuai dengan
syariat Islam, tidak digunakan untuk hal-hal yang dilarang oleh agama dan tidak
digunakan untuk hal-hal yang bersifat mubazir atau pemborosan. Selain itu,
harus mengeluarkan zakat dan infaq guna membersihkan harta sesuai dengan harta
yang dimiliki.
ü Hak milik sosial ataupun umum, karena kepemilikan benda-benda ini secara umum (air,
rumput dan api) yang merupakan sumber daya alam manusia yang tidak dapat
dimiliki perorangan kecuali dalam keadaan tertentu, maka cara menjaganya harus
dilestarikan dan tidak digunakan dengan semena-mena. Misalnya, air sungai
dijaga kejernihanya dengan cara tidak membuang sampah atau limbah ke sungai.
Hutan dijaga kelestarian tumbuhannya, tidak boleh ada penebangan liar.
ü Hak milik Negara,
pada dasarnya kekayaan Negara merupakan kekayaan umum, namun pemerintah
diamanahkan untuk mengelolanya dengan baik. Dengan begitu suatu Negara dituntut
mengelola kekayaan Negara dengan cara menjaga dan mengelola sumber daya alam
dan sumber pendapatan Negara jangan sampai diambil alih oleh Negara lain dan
tidak boleh digunakan untuk kepentingan pribadi (korupsi). Dan hasilnya
digunakan untuk kepentingan umum juga, seperti penyelenggaraan pendidikan,
regenerasi moral, membangun sarana dan prasarana umum, dan menyejahterakan
masyarakat.
Dengan demikian,
walaupun memelihara harta merupakan urutan terakhir dalam lima unsur
kemaslahatan, namun menurut penulis harta merupakan tonggak utama dalam
memelihara kelima tujuan syariah. Dengan memiliki harta yang cukup akan terpenuhi
semua lima maslahat (agama, jiwa, akal, keturunan dan harta).
F.
Pembagian Harta Dalam Islam
1.
Mutaqawwim
dan Ghair Mutaqawwim
Menurut Wahbah
Zuhaili(1989,IV,hal.44), al-maal al mutaqawwim adalah harta
yang dicapai atau diperoleh manusia dengan sebuah upaya, dan diperbolehkan oleh
syara' untuk memanfaatkannya, seperti makanan, pakaian, kebun apel, dan
lainnya. al-maal gairu al mutaqawwim adalah harta yang belum
diraih atau dicapai dengan suatu usaha, maksudnya harta tersebut belum
sepenuhnya berada dalam genggaman kepemilikan manusia, seperti mutiara di dasar
laut, minyak di perut bumi, dan lainnya. Atau harta tersebut tidak
diperbolehkan syara' untuk dimanfaatkan, kecuali dalam keadaan darurat, seperti
minuman keras. Bagi seorang muslim, harta gairu al mutaqawwim tidak
boleh dikonsumsi, kecuali dalam keadaan darurat. Namun demikian, yang
diperbolehkan adalah kadar minimal yang bisa menyelamatkan hidup, tidak boleh
berlebihan. Bagi non-muslim, minuman keras dan babi adalah harta mutaqwwim,
ini menurut pandangan ulama Hanafiyah. Konsekuensinya, jika terdapat seorang
muslim atau non-muslim yang merusak kedua komoditas tersebut, maka berkewajiban
untuk menggantinya.
Berbeda dengan
mayoritas ulama fiqh, kedua komoditas tersebut termasuk dalam ghair mutaqawwim, sehingga
tidak ada kewajiban untuk menggantinya. Dengan alasan, bagi non-muslim yang
hidup di daerah Islam harus tunduk aturan Islam dalam hal kehidupan
bermuamalah. Apa yang diperbolehkan bagi muslim, maka dibolehkan juga bagi
non-muslim, dan apa yang dilarang bagi muslim, juga berlaku bagi non-muslim.
Dengan adanya pembagian harta menjadi mutaqawwim dan ghair
mutaqawwim terdapat implikasi hukum
yang harus diperhatikan:
v Sah atau tidaknya harta tersebut
menjadi obyek transaksi. Al-maal al mutaqawwim bisa dijadikan
obyek transaksi, dan transaksi yang dilakukan sah adanya. Misalnya jual beli,
sewa-menyewa, hibah, syirkah, dan lainnya. Untuk ghair mutaqawwim,
tidak bisa dijadikan obyek transaksi, maka transaksinya rusak atau batal
adanya. Al-maal al mutaqawwim sebagai obyek transaksi, merupakan
syarat sahnya sebuah transaksi.
v Adanya kewajiban untuk menggantinya,
ketika terjadi kerusakan. Jika harta mutaqawwim dirusak, maka harus
diganti. Jika terdapat padanannya, maka harus dganti semisalnya, namun tidak
bisa diganti sesuai dengan nilainya.
v Jika harta ghair mutaqawwim dimiliki
oleh seorang muslim, maka tidak ada kewajiban untuk menggantinya. Berbeda
dengan non-muslim (yang hidup dalam daerah kekuasaan Islam), jka hewan babinya
dibunuh, atau minuman kerasnya dibakar, maka ada kewajiban untuk menggantinya,
karena keduanya merupakan al-maal al mutaqawwim bagi kehidupan
mereka, ini merupakan pandangan ulama fiqh Hanafiyah
2.
'Iqar
dan Manqul
Menurut Hanafiyah
(1989.IV, hal.46), manqul adalah harta yang memungkinkan untuk
dipindah, ditransfer dari suatu tempat ke tempat lainnya, baik bentuk fisiknya
(dzat atau 'ain) berubah atau tidak, dengan adanya
perpindahan tersebut. Diantaranya adalah uang, harta perdagangan, hewan,
atau apa pun komoditas lain yang dapat ditimbang atau diukur. Sedangkan 'iqar adalah
sebaliknya, harta yang tidak bisa dipindah dari satu tempat ke tempat
lainnya, seperti tanah dan bangunan. Namun demikian, tanaman, bangunan atau
apapun yang terdapat di atas tanah, tidak bisa dikatakan sebagai iqar kecuali
ia tetap mengikuti atau bersatu dengan tanahnya. Jika tanah yang terdapat
bangunannya dijual, maka tanah dan bangunan tersebut merupakan harta 'iqar.
Namun, jika bangunan atau tanaman dijual secara terpisah dari tanahnya, maka
bangunan tersebut bukan merupakan harta 'iqar. Intinya, menurut
Hanafiyah, harta 'iqar hanya terfokus pada tanah,
sedangkan manqul adalah harta selain tanah. Berbeda dengan
Hanafiyah, ulama madzhab Malikiyah cenderung memper sempit makna harta manqul,
dan memperluas makna harta iqar. Menurut malikiyah, manqul adalah
harta yang mungkin untuk dipindahkan atau ditransfer dari satu tempat ketempat
lainnya tanpa adanya perubahan atas bentuk fisik semula, seperti kendaraan,
buku, pakaian, dan lainnya. Sedangkan 'iqar adalah harta yang
secara asal tidak mungkin bisa dipindah atau ditransfer. seperti tanah, atau
mungkin dapat dipindah, akan tetapi terdapat perubahan atas bentuk fisiknya,
seperti pohon, ketika dipindah akan berubah menjadi lempengan kayu.
Dalam perkembanganya,
harta manqul dapat berubah menjadi harta 'iqar,
dan begitu juga sebaliknya. Pintu, listrik, batu bata, semula merupakan
harta manqul, akan tetapi setelah melekat pada bangunan, maka akan
berubah menjadi harta 'iqar. Begitu juga dengan batu bara,
minyak bumi, emas, ataupun barang tambang lainnya, semula merupakan harta 'iqar,
akan tetapi setelah berpisah dari tanah berubah menjadi harta manqul.
Dengan adanya
pembagian harta menjadi 'iqar dan manqul, akan
terdapat beberapa implikasi hokum sebagai
berikut;
v Dalam harta 'iqar terdapat
hak syuf'ah, sedangkan harta manqul tidak terdapat
di dalamnya, kecuali hartamanqul tersebut menempel pada harta 'iqar.
v Menurut Hanafiyah, harta
yang diperbolehkan untuk di -waqaf-kan adalah harta 'iqar.
Harta manqul diperbolehkan jika menempel atau ikut terhadap harta 'iqar,
seperti me-waqaf-kan tanah beserta bangunan, perabotan, dan segala
sesuatu yang terdapat di atasnya. Atau harta manqul yang
secara umum sudah menjadi obyek waqaf, seperrti mushaf,
kitab-kitab, atau peralatan jenazah. Berbeda dengam jumhur ulama, menurut
mereka. kedua macam harta tersebut dapat dijadikan sebagai obyek waqaf.
v Seorang wali tidak boleh menjual
harta 'iqar atas orang yang berada dalam tanggungannya,
kecuali mendapatkan alasan yang dibenarkan syara', seperti untuk membayar
hutang, memenuhi kebutuhan darurat, atau kemaslahatan lain yang bersifat urgen.
Alangkah baiknya jika harta manqul yang lebih diproritaskan untuk
dijual, karena harta 'iqar diyakini memiliki kemaslahatan
lebih besar bagi pemilikinya, jadi tidak mudah untuk menjualnya.
v Menurut Abu Hanifah dan Abu Yusuf,
harta ;iqar boleh ditransaksikan, walaupun belum
diserahterimakan. Berbeda dengan harta manqul, ia tidak bisa
ditransaksikan sebelum ada serah-terima, karena kemungkinan terjadinya
kerusakan sangat besar.
3.
Mitsli
dan Qilmi
Al maal al mitsli adalah harta yang terdapat padanannya
dipasaran, tanpa adaya perbedaan atas bentuk fisik atau bagian-bagiannya, atau
kesatuannya. Harta mitsli dapat dikatagorikan menjadi empat
bagian;
ü Al makilaat (sesuatu yang dapat ditakar) seperti;
gandu, terigu, beras.
ü Al mauzunaat (sesuatu yang dapat ditimbang) seperti;
kapas, besi, tembaga.
ü Al 'adadiyat (sesuatu yang dapat dihitung)
seperti; pisang, telor, apel, begitu juga dengan hasil-hasil industri, seperti;
mobil yang satu tipe, buku-buku baru, perabotan rumah, dan lainnya.
ü Al dzira'iyat (sesuatu yang dapat diukur dan memiliki
persamaan atas bagian-bagiannya) seperti; kain, kertas, tapi jika terdapat
perbedaan atas juz-nya (bagian), maka dikatagorikan sebagai
harta qimi, seperti tanah.
ü Al maal al qimi adalah harta yang tidak terdapat
padanannya di pasaran, atau terdapat padanannya, akan tetapi nilai tiap
satuannya berbeda, seperti domba, tanah, kayu, dan lainnya. Walaupun sama jika
dilihat dari fisiknya, akan tetapi stiap satu domba memiliki nilai yang berbeda
antara satu dan lainnya. Juga termasuk dalam harta qimiadalah
durian, semangka yang memilki kualitas dan bntuk fisik yang berbeda.
Dalam perjalanannya,
harta mistsli bisa berubah menjadi harta qimi atau
sebaliknya;
·
Jika
harta mitsli susah untuk didapatkan di pasaran (terjadi
kelangkaan atau scarcity), maka secara otomatis berubah menjadi harta qimi,
·
Jika
terjadi percampuran antara dua harta mitsli dari dua jenis
yang berbeda, seperti modifikasi Toyota dan Honda, maka mobiltersebut menjadi
harta qimi,
·
Jika
harta qimi terdapat anyak padanannya di pasaran, maka secara
otomatis menjadi harta mitsli.
Dengan adanya
pembagian harta mitsli dan qimi, memiliki implikasi hukum sebagai berikut;
v Harta mitsli bisa
menjadi tsaman (harga) dalam jual-beli hanya dengan
menyebutkan jenis dan sifatnya, sedangkan harta qimi tidak
bisa menjadi tsman. Jika harta qimi dikaitkan
dengan hak-hak finansial, maka harus disebutkan secara detail, karena hal itu
akan mempengaruhi nilai yang dicerminkannya, seperti domba Australia, tentunya
akan berbeda nilainya dengan domba Indonesia, walaupun mungkin jenis dan
sifatnya sama.
v Jika harta mitsli dirusak
oleh orang, maka wajib diganti dengan padanannya yang mendekati nilai
ekonomisnya (finansial), atau sama.
v Tapi jika harta qimi dirusak,
maka harus diganti sesuai dengan keinginanya, walaupun tanpa izin dari
pihak lain. Berbeda dengan harta qimi walaupun mungkin
jenisnya sama, tapi nilainya bisa berbeda, dengan demikian pengambilan harus
atas izin orang-orang yang berserikat.
v Harta mitsli rentan
dengan riba fadl. Jika terjadi pertukara diantara harta mitsli,
dan tidak terdaat persamaan dalam kualitas, kuantitas, dankadarnya, maka akan
terjebak dalam riba fadl. Berbeda dengan harta qimiyang
relatif resisten terhadap riba. Jika dipertukarkan dan terdapatperbedaan, maka
tidak ada masalah. Diperbolehkan menjual satu domba dengan dua domba.
4.
Istikhlaki
dan Isti'mali
Al maal al
istikhlaki adalah
harta yang tidak mungkin bisa dimanfaatkan kecuali dengan merusak bentuk fisik
harta tersebut, seperti aneka warna makanan dan minuman, kayu bakar, BBM, uang,
dan lainnya. Jika kita ingin memanfaatkan makanan dan minuman, maka kita harus
memakan dan meminumnya sampai bentuk fisiknya tidak kita jumpai, artinya barang
tersebut tidak akan mendatangkan manfaat, kecuali dengan merusaknya.
Adapun untuk uang,
cara mengkonsumsinya adalah dengan membelanjakanya. Ketika uang tersebut keluar
dari saku dan genggaman sang pemilik, maka uang tersebut dinyatakan hilang dan
hangus, karena sudah menjadi milik orang lain, walaupun mungkin secara fisik,
bentuk dan wujudnya masih tetap sama. Intinya, harta istikhlaki adalah
harta yang hanya bisa dikonsumsi sekali saja.
Al maal al isti'mali adalah harta yang mungkin untuk
bisa dimanfaatkan tanpa harus merusak bentuk fisiknya, seperti perkebunan,
rumah kontrakan, kendaraan, pakaian, dan lainnya. Berbeda dengan istikhlaki,
harta isti'mali bisa dipakai dan dikonsumsi untuk beberapa
kali.
Harta istikhlaki bisa
ditransaksikan dengan tujuan konsumsi, tidak bisa misalnya kita meminjamkan dan
atau menyewakan makanan. Sebaliknya, harta isti'mali bisa digunakan
sebagai obyek iijarah (sewa). Namun demikian kedua harta
tersebut bisa dijadikan sebagaiobyek jual beli atau titipan.
Disamping itu,
Mustafa A. Zarqa juga membagi harta menjadi maal al ashl dan maal
al tsamarah. Yang dimaksud dengan maal al ashl adalah
harta benda yang dapat menghasilkan harta lain. Sedangkan harta maal al
tsamarahadalah harta benda yang tumbuh atau dihasilkan dari maal al
ashl tanpa menyebabkan kerusakan atau kerugian atasnya. Misalnya
sebidang kebun menghasilkan buah-buahan. Maka, kebun merupakan maal al
ashl, sedang buah-buahan merupakan maal al tsamarah (Zarqa,III,HAL.217-218).
Pembagian harta ini menimbulkan beberapa konsekuensi Implikasi hukum sebagai berikut;
Pembagian harta ini menimbulkan beberapa konsekuensi Implikasi hukum sebagai berikut;
v Pada prinsipnya, harta wakaf tidk dapat
dimiliki atau ditasharrufkan menjadi milik peorangan, namun hal serupa dapat
dilakukan terhadap hasil harta wakaf.
v Harta yang dipruntukkan bagi kepentingan
dan fasilitas umum, seerti jalan dan pasar,pada prinsipnya tidak dapat dimiliki
oleh erseorangan. Sedangkan penghasilan dari harta umum ini dapat dimiliki
(Mas'adi,2002, hal.27-28)
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Teori Harta
Harta merupakan komponen pokok dalam kehidupan
manusia, unsur dlaruri yang tidak bisa ditinggalkan begitu
saja. Dengan harta, manusia bisa memenuhi kebutuhannya, baik yang bersifat
materi ataupun immateri.
2.
Teori Kepemilikan
Hak milik (kepemilikan) adalah hubungan antara manusia dengan harta yang
ditetapkan syara', dimana manusia memiliki kewenangan khusus untuk melakukan
transaksi terhadap harta tersebut, sepanjang tidak ditemukan hal yang
melarangnya. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh manusia, baik berupa
harta benda (dzat) atau nilai manfaat.
3.
Harta Dalam Sudut Pandang Islam
Harta
dinamakan al-mal mengingat semua orang, siapa, kapan dan dimanapun pada
dasarnya adalah condong, senang, mau dan cinta pada harta khususnya uang.
Menurut istilah syar’i harta diartikan sebagai segala sesuatu yang dimanfaatkan
pada sesuatu yang legal menurut hukum syara’ (hukum Islam) seperti jual-beli,
pinjaman, konsumsi dan hibah atau pemberian.
4.
Kepemilikan Harta Dalam Islam
Kepemilikan
harta dalam Islam dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu : kepemilikan individu,
kepemilikan umum dan kepemilikan Negara.
5.
Maqashid Syariah
Dalam Kepemilikan
Maqashid
syariah atau memelihara harta dalam kepemilikan harta adalah sebagai berikut :
ü Hak milik individu, dalam mendapatkannya harus sesuai dengan
syariat Islam yaitu dengan cara bekerja ataupun warisan dan tidak boleh memakan
harta orang lain dengan cara yang bathil atau memakan hasil riba.
Menggunakannya pun harus sesuai dengan syariat Islam, tidak digunakan untuk
hal-hal yang dilarang oleh agama dan tidak digunakan untuk hal-hal yang
bersifat mubazir atau pemborosan. Selain itu, harus mengeluarkan zakat dan
infaq guna membersihkan harta sesuai dengan harta yang dimiliki.
ü Hak milik sosial ataupun umum, karena kepemilikan
benda-benda ini secara umum (air, rumput dan api) yang merupakan sumber daya
alam manusia yang tidak dapat dimiliki perorangan kecuali dalam keadaan
tertentu, maka cara menjaganya harus dilestarikan dan tidak digunakan dengan
semena-mena. Misalnya, air sungai dijaga kejernihanya dengan cara tidak
membuang sampah atau limbah ke sungai. Hutan dijaga kelestarian tumbuhannya, tidak
boleh ada penebangan liar.
ü Hak milik Negara, pada dasarnya kekayaan Negara merupakan
kekayaan umum, namun pemerintah diamanahkan untuk mengelolanya dengan baik.
Dengan begitu suatu Negara dituntut mengelola kekayaan Negara dengan cara
menjaga dan mengelola sumber daya alam dan sumber pendapatan Negara jangan
sampai diambil alih oleh Negara lain dan tidak boleh digunakan untuk
kepentingan pribadi (korupsi). Dan hasilnya digunakan untuk kepentingan umum
juga, seperti penyelenggaraan pendidikan, regenerasi moral, membangun sarana
dan prasarana umum, dan menyejahterakan masyarakat.
6.
Pembagian Harta Dalam Islam
1)
Mutaqawwim dan Ghair Mutaqawwim
Menurut Wahbah Zuhaili(1989,IV,hal.44), al-maal
al mutaqawwim adalah harta yang dicapai atau diperoleh manusia dengan
sebuah upaya, dan diperbolehkan oleh syara' untuk memanfaatkannya, sedangkan al-maal gairu al mutaqawwim adalah harta yang belum diraih atau
dicapai dengan suatu usaha, maksudnya harta tersebut belum sepenuhnya berada
dalam genggaman kepemilikan manusia
2) 'Iqar dan
Manqul
manqul adalah harta yang memungkinkan
untuk dipindah, ditransfer dari suatu tempat ke tempat lainnya, baik bentu
fisiknya (dzat atau 'ain) berubah atau tidak, dengan adanya
perpindahan tersebut, sedangkan 'iqar adalah sebaliknya,
harta yang tidak bisa dipindah dari satu tempat ke tempat lainnya,
seperti tanah dan bangunan.
3) Mitsli dan
Qilmi
Al maal al
mitsli adalah
harta yang terdapat padanannya dipasaran, tanpa adaya perbedaan atas bentuk
fisik atau bagian-bagiannya, atau kesatuannya, sedangkan Al maal al qimi adalah
harta yang tidak terdapat padanannya di pasaran, atau terdapat padanannya, akan
tetapi nilai tiap satuannya berbeda, seperti domba, tanah, kayu, dan lainnya.
4) Istikhlaki
dan Isti'mali
Al maal al
istikhlaki adalah
harta yang tidak mungkin bisa dimanfaatkan kecuali dengan merusak bentuk fisik
harta tersebut, seperti aneka warna makanan dan minuman, kayu bakar, BBM, uang,
dan lainnya. Sedangkan Al maal al isti'mali adalah harta yang
mungkin untuk bisa dimanfaatkan tanpa harus merusak bentuk fisiknya.
B.
Kritik Dan Saran
Saran dan masukan
melalui diskusi mengenai makalah ini sangat membantu penulis untuk melengkapi
kekurangan-kekurangan dalam materi ini, karena penulis akui dalam penulisan
makalah ini adanya keterbatasan literatur yang ditemui.
Daftar Pustaka
1. Al-Qur’an dan Terjemahnya
2. Abdullah, Taufik, dkk. 1999. Ensiklopedi Islam, Jilid 2. Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve
3. Abdul Fatah al-Husaini, al-Syaikh, Buhuts fi al-Fiqh al-Islami (universitas al-Azhar, 1971)
4. Afif, Ahmad Mustafa, “Atsar Nuzhum al-Mudharabah wa al-Musyarakah al Ribhiyyah al-Masyru’at al-Iqtishadiyyah, “tesis magister Institut Studi Islam, tahun 1984
5. Anto, Hendrie. 2003. Pengantar Ekonomika Mikro Islami. Yogyakarta : Ekonisia
6. Anshori, Abdul Ghofur. 2006. Gadai Syariah di Indonesia, Konsep, Implementasi, dan Institusionalisasi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press
7. Amalia, Euis, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, (Depok : Gramata Publishing, 2010)
8. Basyir, Ahmad Azhar. 2000. Asas-Asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam). Yogyakarta : UII Press
9. Behesti. 1992. Kepemilikan Dalam Islam. Jakarta : Pustaka Hidayah
10. Chapra, Umer. 2001. Masa Depan Ilmu E0konomi, Sebuah Tinjauan Islami. Jakarta : Gema Insani Press
11. Dahlan, Abdul Aziz, dkk. 2000. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve
12. Djamil, Fathurrahman, Filsafat Hukum Islam (Bagian pertama), (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997)
13. Djazuli. 2007. Fiqh Siyasah, Implementasi Kemaslahatan Umat dalam Rambu-Rambu Syariah. Jakarta : Kencana Prenada Media Group
14. Hafidhuddin, Didin, Dakwah Aktual, Jakarta,Gema Insani Press. Keputusan Muktamar Tarjih XXII,1990, Malang
15. Mas'adi, Ghufron. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
16. Nabhani, Taqyudin, Membangun sistem Ekonomi Alternatif; Perspektif Islam, (Surabaya:Risalah gusti.2002)
17. Rahman, Fazlur, Al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta : Rineka Cipta, 2000)
18. Shiddiqiy, Muhammad Hasbiy. 1997. Pengantar Fikih Muamalah. Semarang : Pustaka Rizki Putra
19. Sholahuddin, Muhammad, Asas-asas Ekonomi Islam,(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007)
20. Suma, Muhammad Amin, Menggali Akar Mengurai Serat Ekonomi dan Keuangan Islam, (Jakarta : Kholam Publishing, 2008)
21. Syahatah, Husain, Usul al-Fikr al-Muhasib al-Islami, Terj Khusnul Fatarib, Pokok-pokok pikiran Akutansi Akutansi Islam, (Jakarta: Akbar Media Eka Sarana)
22. Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam wa Adilatuhu, Terjemahan Jilid 6, (Jakarta : Gema Insani, 2011)
23. Zallum, Abdul Qadim, al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, Dar al-Ilm li al-malayin, 1988, Terj. Ahmad S dkk, Sistem Keuangan di Negara Khalifah, Pustaka Thariq al-Izzah, 2002
makasih:]
BalasHapusterimakasih banyak ilmunya, izin copy materinya!
BalasHapus