Aku,
Adinda. Siswi SMP kelas 1. Aku remaja biasa yang cuek dengan sekitar, melewati
hari sesuai dengan kemauan di benakku. Dalam hal belajar, aku memang tak pernah
serius. Namun tak pernah ada angka merah dalam lapor aku, semua nilaiku
rata-rata memuaskan.
Aku lagi
jatuh cinta, atau mungkin hanya sekedar menganggumi. Entahlah, aku tak tahu
secara pasti. Yang jelas aku bahagia mengenalnya, tersenyum kala mengingatnya,
grogi saat di dekatnya. Dia makhluk Allah yang paling indah di mataku saat itu.
Aku mengenalnya di mesjid. Namanya Amri, aku biasa memanggilnya kak Amri.
Kebetulan usia dia lebih tua dari aku. Dia mengajar di mesjid tersebut, yang
kebetulan akupun mengajar disana. Kami biasa berpapasan, tegur sapa, saling
senyum karena dia mengganggapku adiknya. Ya..dalam lingkungan mesjid sesama
pengajar itu ibarat saudara. Saling menghormati dan mengasihi.
Dia sangat
pandai dalam semua mata pelajaran. Sempat beberapa kali dia mengajariku PR
sekolah tentang perhitungan, dari sanalah rasa itu timbul. Tiap saat hanya
ingin selalu bersamanya. Aku sendiri tak mengerti, mengapa hal tersebut bisa
hadir.
Namun,
suatu hari, aku iseng mengerjainya. Aku hanya ingin melihatnya marah, karena
selama ini ia tak pernah marah padaku. Dia baik, bahkan sangat baik. Mungkin
kalian mengirah aku ini bodoh, tapi ya itulah aku, selalu melakukan apapun sesuai
dengan apa yang ada dibenakku tanpa berfikir dampak kedepannya.
Saat
itu, ia sudah kelas 3 SMP dan saya kelas 2 SMP. Sebentar lagi dia akan
menghadapi ujian sekolah. Ia meminjam buku-bukuku. Pada saat dia mengembalikan
semua buku-buku aku, aku menyembunyikannya satu. Lalu berkata padanya,
“kak,
buku sejarah aku belum di kembalikan?” tanyaku padanya saat berada di teras
mesjid.
“maaf
dek, bukannya sudah kakak kembalikan semuanya? Karena di kamar kakak sudah
tidak ada bukunya adek. Coba di cek baik-baik dek, sempat terselip” jawabnya
tanpa sekalipun melirik ke aku.
Di
mesjid kami di ajarkan untuk selalu menjaga pandangan. Walau pun sudah seperti
adik kakak, kami di ajarkan untuk tak saling pandang, karena bukan muhrim. Jadi
sangat dilarang untuk memandang lawan jenis berkali-kali dengan durasi lama.
Katanya, pandangan anak adam itu ke lawan jenis ibarat busur panah iblis yang
melesat dengan cepat. Dan setiap busur panah, pantang untuk kembali ke
tempatnya kecuali harus tertancap di suatu tempat di sekitar target. Rasulullah
juga bersabda, bahwa pandangan pertama itu untukmu namun pandangan selanjutnya
haram bagimu.
“sudah
aku cari dengan teliti kakak, tapi tidak ketemu” jawabku dengan menunduk.
“dek,
kakak ingat betul sudah memberikannya ke adek bersama dengan buku-buku yang
lainnya” jawabnya.
“tapi
kakak, bukunya tidak ada. Kakak ingat kapan memberikannya? aku pakai baju apa?
Pukul berapa? Hari apa? Dan dimana?” jawabku, mencoba tuk membuatnya marah.
“kakak
lupa dek, hari apa, kapan, dimana, pukul brapa, dan adek pakai baju apa. Yang
jelas kakak ingat betul, bahwa buku itu telah kakak kembalikan.” Jawabnya
dengan nada agak sedikit tegas.
“tapi
kan kakak, bukunya tidak ada. Padahal itu buku baru kak” jawabku dengan nada
pura-pura sedih
“coba di
cari baik-baik dulu dek”, jawabnya berusaha menenangkan aku
“tidak
ada kakak, aku sudah cari kemana-mana. Namun bukunya tidak ketemu-ketemu juga
kakak” sahutku dengan nada agak tinggi.
“ya
sudah kalau begitu, kakak akan menggantikan buku adek dengan yang baru, dan
besok-besok kakak juga tidak bakalan meminjam buku adek lagi. Terimakasih.
Assalamu’alaikum” jawabnya, sambil berlalu meninggalkan aku yang masih berdiri
diam di teras mesjid.
Aku tak
tahu, aku harus senang kah, karena telah berhasil membuatnya marah. Namun ada
rasa bersalah dalam hati karena telah berbohong padanya. Tapi, aku fikir dia
hanya marah sejenak padaku, nanti juga bakalan baik lagi. Nanti, kalau sudah
baik, aku bakalan menjelaskan semuanya dengan jujur.
****
Hagh..
aku baru tahu, jika seorang dengan karakter pendiam jangan pernah memancing
kemarahannya karena jika sudah marah susah untuk memadamkan api kemarahannya
tersebut.
Semenjak
kejadian di teras mesjid tersebut, dia selalu memasang wajah cuek kepada aku,
tak ada lagi guratan senyum yang terbit di wajah indahnya itu. Sedih, namun tak membuat aku secepatnya minta
maaf. Aku selalu berfikir untuk menunggu waktu yang tepat, namun aku salah.
Menunggu waktu yang tepat itu kapan? Kalau bukan kita yang menciptakan waktu
itu, mau menunggu sampai kapan?. Selang beberapa bulan berlalu, saat serius
mengajar santri di mesjid, tiba-tiba seseorang meletakkan buku sejarah di depan
aku, bukunya masih terbungkus dengan rapi,
“Hmn..buku sejarah yang baru.” Gumanku dalam
hati. Sambil melirik ke wajah yang memberikannya.
“ini
buku sejarah baru, sebagai ganti buku sejarahmu yang hilang”, kata kak Andi.
Salah satu pengajar senior juga. Beliau saat ini kuliah di jurusan kedokteran.
“dari
kakak Amri ya kak?” tanyaku, untuk meyakinkan pendapat dalam benakku.
“iya
dek, dan dia menyuruh kakak memberikannya kepadamu. Ini buku baru dibelinya
tadi pagi” jawab kak Andi
“Kenapa
bukan dia langsung yang memberikannya ke aku kakak? Apa dia masih marah?”
tanyaku lagi dengan nada sedih
“entahlah
dek, kakak tak tahu. Tapi kalau boleh saran ya dek. Lebih baik meminta maaf
lebih dulu, agar tidak ada lagi amarah diantara kalian” jawab kak Andi, sambil
berlalu meninggalkan aku.
“meminta
maaf? Dimaafkan tidak? Kan cuman bercanda? Masa begitu saja sudah marah? Lagian
aku juga tak memaksa untuk di belikan buku yang baru. Hmn..padahal kan hanya
mau lihat dia marah. Kenapa malah jadi begini? Aduh.. gimana nie.. bodohnya
aku!” gumanku dalam hati sambil terus memandangi buku baru yang ada di depan
aku.
Dan di
saat saling berdiam-diaman seperti ini, aku merasakan hal aneh dalam dadaku
tiap memandang wajahnya dari jauh. Saat berpapasan ada rasa jengkel dalam dada,
namun seakan membuat pipiku merona merah. Dan kala sosoknya tak kudapati di
mesjid, aku malah sangat merindukannya. Aduh, rasa apakah yang telah aku alami
ini. Aku masih sangat kecil untuk mengatakan bahwa ini cinta. Namun, jika bukan
cinta..lalu apa? Aku sendiri tak tahu dalam menafsirkan rasa ini.
Dan
seterusnya, aku dan kak Amri tak pernah lagi seakrab yang dulu. Ada jurang
amarah yang membuat kita tak seakrab dulu. Yang tampak dari luar, dia sibuk
dengan kehidupannya sendiri, sedangkan aku harus sibuk dengan perasaanku yang
tak karuan ini. Ingin selalu bersamanya. Berbagai cara pun aku lakukan untuk
meminta maaf dan bisa dekat dengannya. Dan tanpa sadar akupun diam-diam mencari
tahu semua tentangnya. Dan ini lah yang aku lakukan dalam mengangguminya,
konyol mungkin namun aku senang.
***
Aku
mendaftar di SMA yang sama dengannya. Berharap bisa setiap hari melihatnya
sebagai kakak kelas. Namun ternyata tak mudah menerobos masuk ke SMA tersebut,
SMA terfavorit di kotaku, dan kebanyakan pendaftar, rela membayar berkali-kali
lipat sejumlah uang agar ia bisa masuk ke SMA tersebut. Hmn..cara licik,
kasihan yang cerdas namun tak berduit. Dan aku salah satu orang yang tak lulus
seleksi. Sedih karena tak bisa satu sekolah dengannya, tapi biarlah, aku masih
bisa mencuri pandang kepadanya kala di mesjid.
Kemudian
aku pun sering menelpon kerumahnya, hanya untuk mendengarkan suaranya. Aku
tahu, kapan ia berada di ruang tamu, dan dekat dengan telpon rumahnya. Jadi
otomatis saat telpon bordering ia yang akan menjawabnya. Aku hanya menekan
nomor telponnya, menunggunya sambunga itu terjawab. Lalu suara dari seberang akan berkata,
“Assalamu’alaikum..maaf cari siapa?” setelah itu aku matikan. Beberapa menit
kemudian, aku mencoba menelponnya lagi, dan setelah di jawab, aku matikan lagi.
Aku melakukan hal itu berulang-ulang dalam sehari dengan rentang waktu 5 menit.
Dan dia akan menjawab telponnya dengan suara lembut tanpa ada nada kesal. Aku
pun mulai menyukai suaranya dan selalu merindukannya.
Saat
mengetahui teman SD saya ada yang lulus di SMA tersebut, aku pun punya ide. Aku
lalu menelpon nomor rumahnya, di jam seperti biasa. Digagang telpon, aku lapisi
dengan kain, agar suara aku tersamarkan. Saat telponnya di jawab, suara di
seberang sana berkata,
“Assalmu’alaikum,
maaf cari siapa?” jawabnya.
“wa’alaikum
sa..lam, bi..sa bi..cara dengan kak Am..ri?” jawabku agak sedikit terbata-bata
lantaran grogi. Ini kali pertamanya aku berani mengeluarkan suara. Khawatir dia
mengenali suara aku.
“iya aku
sendiri. Maaf ini dengan siapa kalau boleh tahu?” tanyanya lagi.
“hmn..ini
dengan Wiwi kak, adik kelas kakak yang baru. Maaf kak, mengganggu” jawabku agak
lega, sepertinya ia tak mengenali suaraku.
“oiya,
tak apa dek. Tapi ada keperluan apa dek dengan kakak?” jawabnya penuh
kelembutan.
Dug..otakku
seakan berfikir keras mencari alasan yang logis agar tak ketahuan, tapi apa?
Apa yang harus aku katakana? Atau aku matikan saja telponnya? Tapi sayang,
sudah sejauh ini. Aduh…ayo..ayo cepetan berfikir.
“dek..masih
di sana kan??” tanyanya lagi. Membuatku tersadar, akan diamku sedari tadi
sambil berfikir. Aku hanya mampu mengigit bibir bawahku di saat kalut seperti
ini.
“dek..kalau
masih bingung mau bicara apa, sebaiknya telponnya di matikan saja dulu, setelah
ingat apa yang akan adek bicarakan dengan kakak, adek baru menelpon lagi”
sahutnya kembali.
“aduh
maaf kak, tadi aku hanya berusaha mengingat akan keperluan aku ke kakak. Jadi
begini kakak, tadi saat pertemuan perdana antara junior dan kakak senior, aku
datang terlambat, sehingga ada beberapa mungkin peraturan dan alat atribut
untuk besok ketika MOS, tidak sempat tercatat. Aku juga lupa meminta catatan
kepada teman di kelas tadi, dan saat di rumah aku baru ingat kalau catatanku
kurang lengkap. Makanya aku menelpon kakak. Maaf kakak”, jawabku dengan lancar,
entah darimana kalimat panjang itu tersusun. Semuanya mengalir begitu saja
tanpa sempat aku memilah-milih kata yang tepat.
“oo..begitu
ya dek, kalau begitu dengarkan dan catat ya dek”, sahutnya di seberaang, tanpa
rasa curiga.
“i..i..iya
kak”, jawab aku gugup.
“siswinya,
menggunakan topi kerucut dari dos dan tas terbuat dari kantong plastic kresek
berwarna hitam, talinya dari rumput jepang berwarna pink, tak lupa permennya di
buat asesoris, entah itu berupa gelang, kalung, pin, ikat pinggang dan
sebagainya”, katanya panjang lebar dan aku hanya menikmati intonasi suaranya
yang sangat indah. Aduh..semakin lama..aku smakin ingin selalu berlama-lama
dengannya.
“oiya
dek, dapat nomor kakak darimana ya?” lanjutnya, hingga membuatku tersadar akan
kebohongan yang telah aku rekayasa. Tanpa salam, akupun langsung memutuskan
telponnya. “hufh….”
***
Kalian
tahu, entah mengapa hampir setiap hari,
aku dan dia berbarengan berangkat kesekolah. Kami selalu saja berada satu
angkot. Walau ia selalu setia mengambil posisi duduk dekat pintu dan aku selalu
setia dengan singgasanaku di belakang pak supir angkot. Jadilah kami selalu
berhadapan. Aku senang namun selalu ku pasang wajah cemberut. Seolah-olah
sangat tak menginginkan keberadaanya di hadapanku sepanjang jalan, padahal
sungguh hati sangat girang.
Masa SMA
pun tak terlalu aku nikmati sepenuhnya, pikiranku selalu berada jauh melayang
ke SMA lain, ya SMA dia berada. Pada saat jam pelajaran berlangsung, tanganku
sibuk mencatat pelajaran namun benakku tak hentinya membayagkan sosoknya yang
berada dalam ruangan dan sedang belajar pula. Saat jam istirahat pun hal yang
sama terlintas dalam benakku, membayangkan dia yang sedang istirahat di kantin
ataupun di perpustakaan. Dan saat jam pulang, aku selalu berdoa semoga dapat
bersamanya dalam satu angkot untuk pulang.
Dan kini
kami berdua telah dewasa, kala mengingat semua tindakan koyolan aku dalam mengaguminya,
aku hanya tersenyum, sembari memandang dalam wajah lelaki di depanku ini.
Sebulan yang lalu, pria ini memintaku untuk menjadi tulang rusuknya, alasannya
karena dia tak mau lagi diganggu dengan deringan telpon berkali-kali dalam
sehari tanpa ada suara di seberang telpon, dia juga tak tahan melihat pipi
kemerahan dengan wajah sok cuek di depannya kala didalam angkot, bahkan dia pun
tak tahan untuk tak ketawa mengetahui ada sosok yang senangtiasa memandangnya
dari jauh. Kalian tahu, orang yang ada didepanku sekarang, adalah suamiku, sosok
yang membuatku merasakan cinta di masa SMP.
“ummi…sedari tadi tak hentinya memandang
abi, abi cakepkan ummi??”ucapnya, membuyarkan kenanganku di
masa lalu.
“ye...abi, kePDannya kumat lagi..”sahutku
sembari memalingkan wajahku darinya, lantaran malu kedapatan memandangnya.
“ah..abi itu paling nda biasa melihat
pipi meronahnya ummi kalau lagi malu..ummi cantik..”jawab abi, sembari memalingkan
wajahku kearahnya.
“masih terlalu pagi, abi untuk
mengombalnya..”jawabku dengan wajah polos.
“ummi..janji pada abi, wajah indah ini
hanya abi yang boleh melihatnya..tidak boleh yang lain, abi bakalan cemburu” kata
abi dengan wajah sedikit serius.
“insya Allah abi”
jawabku, sembari mengecup pipinya
“syukron ummu”jawab abi, lalu mengecup keningku.
aku tak pernah tahu dan tak pernah membayangkan jika seseorang yang telah menbuatku mengenal cinta dia lah yang harus menjaga cinta ini hingga kesurga Nya ..
yang aku lakukan hanya menikmati rasa ini dengan diam tak menggumbarnya dan selalu meminta kepada sang Pemilik hati dan pemberi rasa untuk menjaga hatiku agar tak tersakiti ..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar